Saya sadar. Oh. Tidak.
Belakangan, saya baru sadar, gaya bahasa Kucing
sedikit berubah. Maksud saya, tidak seratus persen, tapi itu cukup membuat
kaget. Gaya bahasa seorang penulis itu penting, seolah menggambarkan ciri-ciri
penulis itu juga. Dan sekarang, ini jadi masalah saya.
my writing style problem |
Ini bukan bahaya. Enggak sih. Saya masih tetap bisa
nulis seperti biasa, dan tetap menjalani rutinitas baca buku Fantasteen dan
fantasi seperti biasa (alah). Tapi belakangan ini saya jadi suka baca komik
terlalu banyak, dan nonton anime terlalu malam (Kebiasaan ini sempat hilang,
tapi datang lagi ._.v).
Dan secara perlahan, kosa kata dan penataan kalimat
dalam novel Kucing mulai aneh. Maksud saya, saya mengikuti apa yang ada pada
komik dan anime ke dalam novel. Itu buruk –untuk Kucing seperti saya. Kalian
enggak bisa tiba-tiba masukin apa yang ada di dalam komik ke dalam novel,
begitu juga dengan anime. Itu bakal jadi aneh. Percaya deh.
Misal, di komik dan anime, seseorang tersenyum
sampai matanya tertutup. Itu hal yang jarang lho di novel. Di komik banyak SFX,
dan di novel tidak banyak. Di komik dan anime, lebih banyak percakapan dan
bahkan jarang ada narasi. Di novel, sama sekali tidak seperti itu.
yeah, it's my fault. I am sorry for my self |
Saya kaget bukan main, jadi terpaksa harus menghapus
semua yang ada novel saya dan mengulang dari awal. Saya enggak keberatan sih
ngulang dari awal, toh kalau diterusin bakal aneh. Tapi sayang, udah
berpuluh-puluh lembar, dan saya baru sadar. Telat sadar. Oh, jangan. (Sekarang
saya ngoceh gak jelas).
Duar.
Aku menoleh, cahaya gemerlap muncul dari
tangan Flick, dan dia menggaung, meledakkan salah satu rumah di dekatnya. Srak,
suara kakinya memenuhi telingaku.
SFX. Ingat itu. (Ini udah dibahas di tips
sebelumnya, kalau kalian baca)
Saya memasukkan banyak sekali SFX di novelku. Klek,
duar, bruk, jleb, sssttt.
Itu, aku enggak tahu bagus atau enggak. Tapi lebih
baik jika di jelaskan dengan deskripsi. Tapi saya malah banyak memasukkannya ke
dalam novel, oh god! Seperti yang disarankan Wheza dalam tipsnya yang bilang
kalau SFX selalu bisa kita ganti dengan narasi.
Dia tersenyum hingga ujung-ujung bibirnya
terangkat dan membuat matanya tertutup sempurna. Cantik.
Deskripsi di atas, saya bingung menanggapinya. Saya
enggak pernah tersenyum sampai mataku tertutup sempurna seperti di komik dan
anime, paling mata cuman nyipit dikit doang. But, I put that in my novel.
“Berapa kali kubilang untuk tidak masuk sembarangan!”
“Apa sih, kan kau tadi tidak menjawab
panggilanku jadi aku khawatir!”
“Yang benar saja.”
..... dst
Saya tahu. Seperti anime sekali ya? Bagi Kucing yang
ini enggak terlalu buruk. Tapi lihat, di atas enggak ada narasi sama sekali,
dan banyak percakapan seperti itu di novel saya. Seolah-olah, saya bukan
penulis, dan tokoh saya sendiri yang sedang menulis novelnya, bukan saya
(Ngomong lu susah amat). Dan saya benar-benar menyesal ketika melihat kembali ke dalam tulisan saya.
Why? Whyy??? |
Narasi yang kebanyakan enggak boleh juga sih, cerita
bakal mati kalau enggak di isi percakapan. Tapi kalau terlalu banyak
percakapan, apa enggak jadi terlalu berlebihan? Pasti kan. Maka dari itu, siapa
pun kalian, yang suka menulis novel dengan narasi yang lebih sedikit dari
percakapannya, segera perbaiki.
Dan saya menemukan ini, yang mungkin belum kamu tahu juga.
Kalau kamu berlama-lama dalam narasi, bukumu mungkin akan setebal buku sejarah. Dan sebaliknya, jika kamu terlalu menikmati dialog dalam bukumu, mungkin buku itu hanya setipis buku KKPK (untuk takaran penulis remaja). Yah, saya juga harus belajar dari sini.
Itu aja? Iya, itu aja sih. Banyak hal yang pengen
saya sampaikan, tapi ini dulu saja deh. See you next time (kaya blog ini ada
yang baca aja). Sampai jumpa!
See ya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar